Membaca Sandiwara Politik dan Ideologi
Sandiwara Politik, barangkali adalah salah satu istilah yang paling sering digunakan untuk menunjukkan betapa politik, adalah dunia yang paling 'berpura-pura' atau bahkan tidak konsisten. Istilah sandiwara politik pula yang turut membangun 'citra' konotatif terhadap kata sandiwara. Kurang-lebih, jika seseorang berkata pada sahabat: "Akh, kamu bersandiwara...", maka yang ia maksudkan bukanlah bahwa sahabat adalah seorang pemain sandiwara, tapi justru ia maksudkan bahwa sahabat sedang berpura-pura. Bukankah demikian ?
Meski tidak suka, saya sendiri terkadang memang tidak bisa mengelak untuk menyetujui pendapat bahwa politik adalah panggung sandiwara terbesar. Tidak saja karena jumlah pemainnya yang banyak, tapi juga karena penontonnya tidak sedikit. Untuk politik Indonesia, misalnya, baru-baru ini telah dimainkan satu pertunjukan sandiwara besar bernama Pemilu 2009. Tidak tanggung-tanggung, pentas sandiwara itu, melibatkan 11.301 orang pemain sandiwara (Caleg), dan 171.068.667 orang penonton aktif (Pemilih Tetap), dari total 250 juta penonton.
Lalu apakah yang menjadi alur dalam sandiwara politik yang satu ini, dan akhirnya menentukan karakter-karakter dalam sandiwara besar politik tersebut? Seharusnya: Ideologi. Seperti sahabat semua tahu, ideologi adalah cita-cita yang sistematis. Ideologi adalah platform perjuangan, bahkan ideologi adalah tujuan bernegara. Oleh sebab itu pulalah, seringkali agama yang dianut seseorang, langsung menjadi ideologi nya. Sebab, cita-cita kehidupannya, yang dituntun oleh ajaran agama yang dianutnya, kemudian diterapkan pula pada setiap ranah kehidupannya, tak terkecuali politik.
Tapi ideologi, terkadang juga ditentukan oleh cara bermata pencarian. Jika begitu, rakyat Indonesia, mungin seharusnya berideologi Pertanian dan Kelautan. Tapi anehnya, Ideologi Pabrik dan Industri, terdengar lebih santer. Kelautan apalagi, adalah hal yang paling jarang kita dengar dibicarakan dengan serius. Dan jangan tanya, apakah ada partai politik Indonesia yang menjadikan sektor kelautan sebagai komoditi politiknya? Jawabannya, ringkas. Tak Ada. Sebab hampir semua partai politik menganut Ideologi yang “apapun tersedia” alias warung serba ada. Alasannya, ini negara majemuk dan besar, terlalu banyak lini yang harus diperhatikan !
Jika begitu, apakah ideologi partai politik Indonesia, yang jumlahnya mencapai 44 buah pada pemilu 2009 itu ? Dialog yang paling sering kita dengar, adalah: Ideologi Pancasila. Tapi bagaimana Pancasila diterapkan dalam politik ? Bukankah kemudian Pancasila lebih terlihat sebagai retorika belaka ? Yang memperlihatkan kemajemukkan pilihan. Mana yang lebih utama dari ke lima silanya itu? Yang mana yang prioritas ? Lagi-lagi, jawaban klasik akan kita dengar, bahwa: Pancasila adalah sebuah keutuhan, dan ke lima silanya adalah satu. Jadi tidak ada yang prioritas.
Lalu pertanyaan baru, akan muncul. Jika semua partai berideologi Pancasila. Kenapa mereka tidak jadi partai tunggal saja ? Aneh, jika ideologi yang sama harus di ekpresikan dan diperjuangkan dengan 44 cara. Namun tidak ada yang aneh di Indonesia. Pemilu 2009, telah membuktian kehebatan bangsa Indonesia, yang bisa mengekpresikan satu Ideologi, dengan 44 cara. Lagi pula, sebuah pesta memang harus rame dan meriah. Dan akan terlihat janggal jika bangsa yang besar dan kaya ini, tidak menghabiskan 50 triliun rupiah, untuk sebuah pesta. Untuk sebuah pentas sandiwara.
Tepuk tangan yang meriah. Hip-hip Hura...!